Belalang Tua di Gunung Munara

IMG_3672.JPG_effected

Seperti biasanya, marno selalu telat dalam setiap kesempatan. Hari ini sesuai janjinya seharusnya dia sudah tiba dirumah saya sejak jam 7 pagi, tapi suara knalpot motor bobokannya baru terdengar nyaring jam 8 lebih. Bergadang sampai subuh dalihnya. Dan saya memang terlalu malas mempersoalkan alasan-alasannya yang hanya akan membuat heran sendiri. Bergadang sampai subuh? padahal kemarin dia janji kerumah saya pagi harinya. Seperti Marno yang biasanya.

Matahari bogor pagi itu rasanya terlalu terik untuk waktu jam 9 pagi. Dan Gunung Munara seperti tidak berpenghuni. Sejak laju motor kami dihentikan oleh 2 bocah kecil untuk parkir dan seorang ibu yang menunjukan jalan, tidak lagi kami berpapasan dengan warga. Tidak ada lagi warga yang katanya akan menghadang kami untuk sekedar meminta pungutan. Tidak ada penunjuk jalur dan kami memang harus mencari jalur sendiri. Ini memang perjalanan pertama kami kesini. Berbekal informasi yang masih minim dari internet, ternyata tanpa perlu banyak tanya saya sudah bisa sampai di kaki gunungnya.

Marno jalan didepan, tidak membawa apapun. Hanya membawa sepotong sweater yang kemudian dibebankan kedalam daypack saya. Sedang puasa arafah katanya. Lagi-lagi dia membuat saya jadi rendah diri. Sewaktu ujian penjaskes dikelas 3 SMP, pengambilan nilai lari tepatnya, dalam sekejap dia hilang dari jangkauan pandangan. Cepat sekali larinya, padahal dia mengaku sedang puasa sunah. Meninggalkan saya dan yang lainnya yang tidak puasa.

Berkali-kali saya goda dia untuk minum saja, sedikit menguji imannya. Tapi berkali-kali juga dia menolak. Sementara saya masih terlalu lemah untuk menahan haus ditengah terik dan jalur yang terus menanjak. Hanya saja tawaran saya untuk memfotonya tidak pernah ditolak. Dan seperti marno yang biasanya, fotojenik!.

IMG_3635.JPG_effected

Sampai disalah satu gubuk dibawah pohon dengan papan menggelantung bertuliskan “selamat datang di keramat gunung munara, Semoga hajat baik saudara dapat terkabulkan“, tulisan yang sedikit menciutkan nyali kami. Disana kami berjumpa dengan 2 orang pendaki yang sedang beristirahat. Dari daerah Ciputat katanya. Seorang dengan tubuh sedikit gemuk yang mengingatkan saya dengan Wanto, salah satu teman yang lain yang masih terlalu sibuk dengan rutinitasnya di kampus sehingga tidak mungkin saya ajak bergabung dalam pendakian ini. Orang yang sudah saya lupakan namanya itu mengaku sudah berkali-kali ke gunung munara. Kawannya, dengan tubuh lebih tinggi dan pakaian rapih lengkap dengan kacamata hitamnya mengaku ini pengalaman pertamanya. Dari situ perjalanan kita lanjutkan berempat.

Beberapa kali marno masih tertawa terbahak-bahak akibat guyonannya sendiri. Terlebih setelah formasi perjalanan menjadi 4 orang. Rahangnya seperti hampir melompat keluar. Dia masih gemar tertawa dengan hal-hal kecil. Hal-hal kecil yang sebenarnya tidak cukup lucu itu justru membuat orang yang mendengarnya tertawa geli, tentu karena gelagat anehnya saat sedang tertawa. Lepas sekali tawanya. Tawa yang sering menyiksa lawan bicaranya karena harus rela menerima percikan-percikan air suci dari mulutnya. Bila disinggung soal gaya tertawanya, dia justru akan makin menggila. Dalam  sebuah perjalanan memang harus ada orang yang bisa memecah suasana sepertinya. Tanpanya mungkin perjalanan tidak akan semeriah ini. Thanks mar!.

IMG_3645.JPG_effected

Sesekali dia terlihat diam dan fokus mendengarkan suara kicauan burung disela-sela pepohonan lalu menyebutkan nama-nama burungnya. Sebuah kemampuan yang memang khusus dimiliki oleh para pecinta burung sepertinya. Itulah sebabnya marno mungkin menjadi satu-satunya teman yang diingat oleh Bapak saya. Apalagi kalau bukan karena sama-sama gemar memelihara burung. Dirumah saya, jumlah burung peliharaan 2 kali lipat melebihi jumlah anggota keluarga. Sementara marno masih sibuk menerka-nerka nama burung, saya hanya mengiyakan saja apapun katanya. 2 pendaki dari Ciputat? terkagum-kagum pastinya melihat kekuatan super milik marno itu.

Dipuncak, tanpa aba-aba, marno langsung menunjukan pose-pose layaknya top model, tetap fotojenik walaupun dehidrasi dan kelelahanan, dan juga puasa!. Permintaannya yang saya ingat betul adalah supaya wajahnya terlihat jelas. untuk foto di skripsi katanya, padahal dia belum membuat skripsi sama sekali. Tak mau ambil pusing dengan pernyataannya, saya ikuti saja apa kemauannya. Dua pendaki dari Ciputat terlihat hanya duduk istirahat diatas bongkahan batu besar tepat dibawah pohon rindang. Beberapa kali pria dengan kacamata hitam itu nampak berpose untuk difoto, sampai harus membuka baju segala. Narsis juga ternyata. Sementara itu, dari kejauhan sekitar 5 ekor elang terbang berputar beriringan, sedang mencari mangsa sepertinya. Terbangnya pelan, tenang tapi meyakinkan.

IMG_3697.JPG_effected

Kebersamaan kami dengan duo pendaki dari Ciputat berakhir saat perjalanan turun, tepatnya di warung abah, dibawah puncak batu belah. Ketika saya dan marno sedang duduk dipuncak batu belah, mereka berteriak pamit dari bawah. Belum sempat menanyakan kemungkinan untuk melakukan perjalanan bersama lagi, mereka sudah pergi. Lalu marno kembali dengan ritualnya berpose yang sekiranya “nyentrik” untuk skripsinya. Sementara saya masih tidak mampu untuk berdiri diatas ketinggian batu itu, tanpa pengaman. Membayangkan jika saya jatuh dari atas batu yang menjulang vertikal keatas tersebut memaksa saya terus merendah. Ketinggian memang selalu menjadi momok bagi saya. Sementara marno memang terlalu berani untuk berdiri dan bergaya ala-ala.

Perjalanan turun, marno mulai menghidupkan musik di handphone-nya. Untungnya yang diputar adalah lagu iwan fals, bukan lagu-lagu mainstreamnya yang biasa ia putar. Karena kalau lagu-lagu mainstream itu yang diputarnya, pasti saya sudah melancarkan protes keras. Entah kenapa dia terus memutar lagu berjudul “belalang tua”. Dan lagu itu seakan menjadi soundtrack perjalanan turun kami. berkali-kali diputar, berkali-kali pula kami ikut bernyanyi disela nafas yang tak beraturan.

Sebuah lagu analogi yang diciptakan oleh jenius. Analogi tentang kerakusan manusia yang digambarkan melalui sosok “belalang tua”. Seperti kerakusan yang ada dibalik Gunung Munara, Tertutup rapatnya pepohonan di puncak. Sebuah pertambangan luas lengkap dengan truk-truk dan gemuruh suara mesin yang memecah batu-batu sekaligus memecah keheningan Munara, Mengeruk sumber daya alam yang ada. Hasilnya, sebuah bukit disebelah Gunung Munara kini hanya tinggal setengah saja, itupun masih terus digali. Pemandangan yang akan terlihat jika kita turun sedikit kearah barat dari puncak. Tak ada lagi Gunung Cabe. Gunung yang menurut pria yang mirip Wanto tadi bisa didaki, sekarang sudah terbelah tak beraturan.

Walau status Gunung Munara dilindungi hukum tapi bukan tak mungkin nasib Gunung Munara akan serupa dengan Gunung Cabe. Pernah suatu malam saat hendak berkemah di Gunung Munara, saya melihat beberapa orang dengan senapan angin ditangannya. Entah apa yang akan diburu. Sedangkan satwa di Gunung Munara memang tergolong beraneka-ragam. Sebut saja elang-elang yang beterbangan siang itu, monyet-monyet yang selalu berkelompok, macam-macam burung yang suaranya terus diidentifikasi oleh Marno, Kalajengking sebesar telapak tangan yang menghalangi jalan saya, ular, babi hutan dan rasanya masih banyak lagi.

Beriringan dengan lagu “belalang tua”, langkah kaki kami semakin menjauh meninggalkan Gunung Munara. meninggalkannya bersama ancaman nyata perusakan terhadap alamnya. Entah sampai kapan.

(Gunung Munara – Bogor, 4 Oktober 2014)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s