Bicara soal perjalanan, ada satu perjalanan yang berkesan bagi saya. Bukan berarti perjalanan lain tidak meninggalkan kesan, hanya saja setiap perjalanan memang selalu memiliki cerita dan kesannya masing-masing. Layaknya perjalanan lainnya, perjalanan ini memang memiliki ceritanya tersendiri. Perjalanan yang yang saya lakukan bersama Wanto ini berlalu hampir satu tahun lalu, tepatnya 3 hari setelah meriahnya lebaran. Perjalanan yang kemudian meninggalkan cerita, tentang Ciletuh dan keluarga dari jauh.
Salah satu pelajaran penting yang saya dapat dari perjalanan itu adalah jangan sekali-sekali menggantungkan hidup hanya pada GoogleMaps. Berkali-kali, Aplikasi peta ini memang membantu saya dalam melakukan berbagai perjalanan. Tapi bersandar hanya pada aplikasi ini tentu bukanlah pilihan yang bijak. Karena jika sedang tidak bersahabat, GoogleMaps bisa saja mengajak anda ketempat antah berantah. Dan cerita tentang bagaimana GoogleMaps membawa kami ke jalan yang benar tapi salah hanyalah salah satu cerita tentang Ciletuh.
Benar, karena jalan yang ditunjukannya memang jalan yang menuju Ciletuh. Salah, karena jalan tersebut bukanlah jalan utama yang biasa digunakan untuk lalu-lintas dari luar menuju Desa Ciwaru, tempat Teluk Ciletuh berada, atau sebaliknya. Itu adalah jalan memutar yang lebih panjang dan sangat rusak. Jalan yang tak banyak dilalui orang. Yang pada kelanjutannya membawa kami pada penderitaan panjang.
Ciletuh saat itu belum banyak dikenal, bahkan oleh warga Sukabumi. Pelabuhan ratu dan ujung genteng masih menjadi primadona saat-saat liburan tiba. Dan jalan Cikidang yang biasanya lengang menjadi ramai lancar oleh kendaraan-kendaraan yang hendak berlibur. Tujuan utamanya tentu Pelabuhan Ratu atau Ujung Genteng. Nyatanya tak ada satupun yang mengiringi perjalanan kami menuju Ciletuh. Atau mungkin memang karena kami salah memilih jalan.
Dan mencari informasi tentang Ciletuh pun menjadi kesulitan tersendiri sebelum perjalanan itu. Tak banyak informasi mendetail mengenai teluk ini. Hanya beberapa tulisan yang membahas namun tak bisa memberikan gambaran bagi saya. Saat pencerahan tak kunjung didapat dan justru hanya semakin memperbesar tanda tanya, saya tak mau ambil pusing, langsung berangkat saja. Perjalanan nekat semacam ini memang biasanya lebih mengasyikkan dibanding perjalanan “aman”.
Dan Ciletuh tanpa diduga ternyata menjadi sebuah pelarian yang sempurna. Pelarian dari kebingungan sehari-hari. Lokasinya yang menyendiri disalah satu sudut Sukabumi membuatnya menjadi tempat yang damai dan tenang. Tempat dimana ombak merayap dengan lambat. Sawah dan garis pantai nyaris tak bersekat. Bukit-bukit menjadi pagar tinggi yang melindungi Ciletuh dari bisingnya dunia luar. Dan tentu tempat dimana batu-batuan tertua dipulau jawa berada. Batu-batuan dari dasar bumi yang kemudian menyeruak kepermukaan.
Layaknya wilayah pelosok pada umumnya, minimnya infrastruktur tentu bukan barang asing. Dan Ciletuh memang menggambarkan wajah pelosok dengan sebenar-benarnya. Nyaris tak terlihat adanya sentuhan pembangunan. Apalagi jalan yang kami lalui bukanlah jalan yang lazim. Jalan dengan batu-batu berbagai macam ukuran. Kerusakan jalan yang bagi saya tidak bisa ditolerir lagi. Kecuali kita memang sudah siap dengan semua konsekuensi yang mungkin terjadi. Tapi jika mau menikmati, pemandangan sepanjang jalan memang tidak bisa dianggap sepele.
Sepanjang perjalanan pikiran saya tak bisa tenang. Melihat roda-roda “Baron” terus menghantam batu-batuan dengan brutal. Membayangkan kerusakan apa saja yang mungkin terjadi kemudian. Andai dulu Wanto bersedia menggunakan sepeda motornya pasti saya tidak akan sekhawatir itu. Dan sesekali diantara kami memang harus rela turun dari motor akibat jalan yang tidak manusiawi. Jalan yang lebih banyak melewati hutan dan perkebunan luas dibanding pemukiman juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi kami. Mogok, ban bocor, habis bensin dan kerusakan lainnya tentu bukan hal yang tepat untuk terjadi disini.
Namun, seperti itulah Ciletuh. Tempat yang ketika kami pertama kali menyapanya nampak polos-polos saja. Tak bersolek seperti tempat wisata pada umumnya. Tak nampak bahwa sebentar lagi akan menyabet gelar Geopark. Tak ada penginapan-penginapan yang menjamur di pinggiran pantai, hanya ada satu penginapan saja yang sempat saya lihat. Pengunjung pun seperti hanya sebatas warga sekitar dan keluarganya. Hanya satu titik pantai yang diberikan tarif masuk bagi wisatawan, tapi bukan berarti kita tidak bisa masuk dengan cuma-cuma. Jika kita mau, masuk saja lewat jalan-jalan yang lain. Sepanjang garis pantai yang melengkung tajam itu pun kami hanya mendapati satu warung. Warung yang menurut penuturan pemiliknya baru beberapa hari saja mulai buka. Disanalah tempat kami beristirahat sejenak sambil menyantap semangkok mie instan selepas menikmati sunset di pantai palangpang.
Si bapak pemilik warung begitu membanggakan pantai di Ciletuh. Lebih bagus dari pantai Ujung Genteng dan Pelabuhan Ratu ujarnya dengan sedikit sombong. Menurutnya Ciletuh yang berbentuk teluk sangat kaya hasil laut. Karenanya banyak keramba-keramba dikejauhan yang ketika malam tiba akan menghiasi laut dengan titik-titik cahaya lampu. Terlihat persis seperti kunang-kunang. Tak jauh dari warung pun terdapat tambak udang yang luasnya berhektar-hektar, hanya saja saya tak sempat melihat-lihat, hanya mendengar saja dari si bapak yang masih terus menghisap rokoknya. Air yang tenang membuat laut Ciletuh tergolong aman. Tak seperti 2 saudara dekatnya yang telah banyak memakan korban.
Bapak itu terlalu mudah terpancing untuk bercerita panjang lebar. Keputusannya membuka warung adalah karena keyakinannya bahwa kedepannya pantai Ciletuh akan ramai pengunjung. Sebuah keputusan yang saya rasa tepat sampai sejauh ini.
Tak banyak waktu yang dapat saya habiskan untuk mendengar semua cerita si pemilik warung. Dan ketika sinar matahari telah sepenuhnya pergi, saya teringat untuk menerima tawaran dari sebuah keluarga untuk menginap dirumahnya. Rumah yang jaraknya tak terlalu jauh dari pantai.
(Ciletuh – Sukabumi, 31 Juli 2014)