Tentang Ciletuh dan Keluarga Dari Jauh #3

IMG_2094.JPG_effected(FILEminimizer)

Perjalanan pulang tidak berlalu begitu saja. Perjalanan pulang menjadi bagian terpanjang dari cerita ini. Harus menempuh waktu hampir 14 jam merupakan pengalaman terlama saya diatas sepeda motor. Waktu yang terlalu panjang hanya untuk perjalanan dari Sukabumi ke Tangerang Selatan. Tapi apa yang didapat tentu bukanlah hal-hal yang biasa.

Bodohnya kami tidak memilih jalan Ciwaru. Jalan yang seharusnya kami lalui. Dan tanpa tahu arah yang pasti, yang kami tahu tujuan kami hanyalah puncak darma, setelahnya tinggal melanjutkan saja jalan dari puncak darma sampai menuju Pelabuhan Ratu. Tanpa bayangan apapun, hanya patuh saja pada perintah GoogleMaps dan petunjuk dari seorang warga.

Bertemu dengan seorang solo rider dengan motor berplat nomor D tak jauh dari Curug Cimarinjung, Tuturnya jalan rusak parah dan lebih baik lewat jalan Ciwaru. Sarannya hanya berlalu, kami tetap maju menantang jalan menuju hutan dan membelah bukit. Keputusan yang ternyata kami sesali kemudian.

IMG_1992.JPG_effected

Adalah hal yang tidak wajar ketika ditengah hutan dan diatas bukit berdiri sebuah jembatan kokoh, kontras dengan jalan tanah setapak berbatu yang menyambungnya. Jembatan sepanjang 20 meter dengan lebar 6 meter itu bersembunyi. Tampak besi pembatas di kedua sisinya telah habis dipotong oleh warga. Saya bisa memahami kenapa warga melakukan itu. Kekokohannya terlihat sudah mulai luntur digerus waktu. Entah bagaimana cara membangun jembatan dilokasi yang sedemikian rupa. Lokasi yang aksesnya sangat sulit dan jauh dari hiruk-pikuk masyarakat.

Namanya jembatan Cimarinjung, dibangun sekitar tahun 2004 oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Menurut cerita, jembatan ini adalah bagian dari rencana pembangunan jalan raya Pelabuhan Ratu-Ciletuh lintas pantai. Ketika pembangunan jalan urung dilakukan hingga saat ini, jembatan Cimarinjung pun terlupakan. Hal yang membuat Ciletuh tetap setia menyendiri dalam tenang.

IMG_2059.JPG_effected(FILEminimizer)

Mengarungi jalan yang tak diketahui hilirnya membuat perjalanan seperti tak berujung. Ingin berputar balik, rasanya tidak mungkin lagi. Apalagi membayangkan kondisi jalan yang telah dilalui sebelumnya. Sepertinya terus maju sambil berharap semua ini segera berakhir memang pilihan terbaik. Apalagi kami sama sekali tidak bertemu dengan sesama pengendara dari luar seperti kami. Hanya ada beberapa pribumi yang sesekali terlihat berjalan kaki dan yang dengan sepeda motornya. Sama seperti perjalanan berangkat sehari sebelumnya.

Terpencil sekali jalan yang kami lalui. Tak banyak melewati pemukiman warga. Melihat rumah warga pun sudah memberikan perasaan lega bagi kami dibanding terus berjalan di hutan. Setidaknya akan ada yang bisa diminta pertolongan jika sesuatu terjadi pada kami, walau itu tentu bukan jaminan pasti.

IMG_2082.JPG_effected(FILEminimizer)

Lebih dari setengah perjalanan saat kondisi jalan telah mulai membaik, setelah waktu berlalu berjam-jam. Semerbak bau tembakau tajam menusuk hidung. Dengan beralas karung, warga menjemur tembakau didepan rumah bahkan sampai mengambil bagian jalan. Seperti hasil panen walau kami sama sekali tidak melihat adanya kebun tembakau. Atau karena kita memang terlalu fokus pada jalanan saja.

Disebuah Mushola kami menepi. Jam sudah menunjukan waktu untuk sholat Jum’at. Mushola sudah diramaikan jama’ah mulai dari anak-anak sampai si kakek. Dan lagi-lagi komunikasi kami terhambat karena mereka hanya bisa berbahasa sunda. Kesulitan saya dibuatnya ketika menanyakan tempat wudhu. Hasilnya, semua perhatian jamaah tertuju kepada kami ketika kami masuk mushola. Sesuatu yang sangat tidak mengenakan. Rasanya ingin langsung pergi saja.

IMG_2101.JPG_effected(FILEminimizer)

Hanya saja pemandangan disana memang tidak biasa. Bukit-bukit terhampar luas disepanjang jalan. Beberapa ditumbuhi pepohonan, yang lainnya hanya tertutup rumput dan alang-alang, ada juga yang gundul. Beberapa tampak hijau sementara sisanya gosong bekas terbakar. Entah sengaja dibakar atau tidak. Dan dari kejauhan terlihat di beberapa puncaknya berjejer tiang listrik yang saling bergandengan erat dengan kabelnya.

Saya jadi penasaran dengan apa yang ada dibalik bukit-bukit itu. Apakah ada pemukiman warga atau hamparan bukit-bukit kosong saja. Yang saya yakini pasti ada hal-hal yang tidak terduga dibaliknya. Hal-hal yang tidak akan ditemui di tempat lain. Dan bukit-bukit itu memang terus mengalihkan pandangan saya dari jalanan.

IMG_2105.JPG_effected(FILEminimizer)

IMG_2102.JPG_effected(FILEminimizer)

Setelahnya hanya hembusan keras angin yang terus menggelitik. Mencolek tubuh-tubuh yang mulai kelelahan ini. Tak terlihat lagi rumah-rumah. Hanya beberapa saung kosong yang hampir roboh. Sepertinya digunakan untuk tempat beristirahat saat berkebun. Ya, lagi-lagi saya hanya menduga-duga. Tak ada orang yang bisa saya tanyakan. Sementara langit siang itu sangat biru. Awan putih pun hanya bergerak cepat berlalu. Terlalu terburu-buru. Seperti sedang dikejar sesuatu saja. Atau hanya seperti kami yang segera ingin sampai rumah?.

Beruntung saat itu sedang musim panas. Saya hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika saat itu musim hujan. Pasti cerita akan menjadi lebih panjang. Atau mungkin akan menjadi lebih seru?. Mana tahu.

IMG_2104.JPG_effected(FILEminimizer)

IMG_2103.JPG_effected(FILEminimizer)

Tak berlalu lama, kami sampai di persimpangan. Dibatas jalan berbatu dan jalan aspal. Sesuatu yang saya sambut dengan tarikan nafas panjang, sangat panjang bahkan. Tak pernah saya sebahagia ini ketika melihat jalanan beraspal. Hampir saja saya memenuhi nazar pada Wanto untuk tidur-tiduran di atas aspal. Untungnya saya masih punya rasa malu. Dan Wanto sudah pasti tak kalah kegirangan setelah 5 jam berkutat dengan batu-batu.

Kegembiraan dua pria malang ini harus ditahan sejenak oleh sebuah mobil angkot yang menepi di arah berlawanan. Dari luar terlihat mobil dipenuhi oleh rombongan Ibu-ibu dengan pakaian khas pengajian. Entah dari mana asalnya. Sang sopir mengeluarkan kepalanya dari jendela dan menanyakan jalan. Bisa saja kami menunjukannya arah jalan tujuannya, tapi sungguh tidak bijak rasanya bertanya pada 2 orang yang baru saja tersasar 2 hari berturut-turut. Tentu kami akan sangat merasa berdosa jika membuat rombongan itu keluar-masuk hutan.

IMG_2113.JPG_effected

Saat kegirangan kami belum beranjak, perhatian kami tertuju pada sebuah danau kecil dipinggir jalan. Mungkin lebih terlihat seperti kolam yang dibentuk seperti bendungan kecil. Danau yang berair tenang itu sangat jernih dan dengan jelas terlihat dasarnya. Ikan-ikan yang berenang pun tak dapat bersembunyi dari penglihatan kami. Kedalamannya hanya berkisar 1-2 meter, atau bahkan tak sampai. Jelas seseorang, airnya berasal langsung dari gunung yang ada dibalik bukit. Oleh karena itu airnya akan terasa dingin. Sungguh sangat menggoda.

Kalau bukan karena orang-orang yang sedang memancing pasti saya sudah melompat ke danau itu. Tapi orang-orang yang sedang melatih kesabaran itu tentu akan hilang kesabaran jika ikan-ikan buruannya kabur karena ulah saya. Kecewa sudah pasti. Oasis didepan mata hanya bisa dipandang tanpa bisa dinikmati. Hanya bisa membayangkan saja saat segarnya air membasuh seluruh badan yang lepek oleh keringat.

Kami hanya duduk menikmati. Tenangnya air setenang suasana yang terbentuk. Rindangnya pohon yang melindungi, angin yang semilir berhembus serta hijaunya pemandangan memaksa kami untuk berlama-lama disana. Sesekali kami mengarahkan si pemancing pada tempat dimana ikan berada. Tak habis pikir saya, tempat senyaman ini berada tepat dipinggir jalan. Hanya perlu menepikan kendaraan, tanpa usaha yang berarti. Dan yang tentunya tak ada tukang parkir.

IMG_2112.JPG_effected(FILEminimizer)

Beberapa kendaraan terlihat menepi. tak lama mereka berlalu tanpa ada orang yang turun. Datang 2 orang dengan helm, tas dan jaketnya yang tak dilepas ikut bergabung. Pengendara sepeda motor juga rupanya. Dari jauh terdengar perbincangan mereka menggunakan bahasa sunda. Saya menghampiri coba membuka pembicaraan dengan mereka. Saat seperti ini kadang membuat saya menjadi sok kenal sok dekat.

Keduanya berasal dari Pelabuhan Ratu, dan juga baru saja kembali dari Ciletuh. Mengunjungi rumah saudaranya yang mempunyai vila disana. Tapi mereka memang jauh lebih beruntung. Tanpa harus blusukan segala. Jalan seusai sholat jum’at, jam setengah 2 mereka sudah bisa menikmati danau ini bersama dengan kami.

Disana, ungkapnya, mereka memancing dan mendapatkan banyak ikan besar. Pernyataan yang langsung mengingatkan saya pada si Bapak pemilik warung yang sangat membanggakan kekayaan hasil laut Ciletuh. Namun, di Ciletuh kami memang tidak melihat mereka sama sekali. Vila yang mereka maksudkan pun saya tidak menyadari keberadaannya. Mungkin karena kami memang sama sekali belum mengeksplorasi teluk itu.

IMG_2117.JPG_effected(FILEminimizer)

“Pelabuhan Ratu macet banget, masa buka pintu langsung macet” keluhnya ketika menuturkan alasannya meninggalkan rumahnya dan mengungsi di Ciletuh. Kontras sekali memang membandingkan Pelabuhan Ratu dan Ciletuh saat itu. Ketika tempat wisata yang satu dipadati para wisatawan dari berbagai daerah, tempat yang lainnya justru hanya didatangi oleh sanak saudara.

Suatu saat nanti, saya ingin sekali kembali ke Ciletuh. Mengingat bagaimana perjalanan waktu itu, mengunjungi keluarga dari jauh atau sekedar menikmati ketenangan. Sesekali kita memang harus menjauh dari keramaian. Berbagi waktu dengan sepi untuk menikmati ketenangan dan kedamaian. Atau mungkin merasa hilang untuk menemukan diri sendiri.

Namun, apakah wajah Ciletuh akan tetap seperti dulu saat kami pertama kali menyapanya?

(Ciletuh – Sukabumi, 1 Agustus 2014)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s