Kemudian dia duduk diatas bongkahan kayu yang tergeletak ditengah jalur dengan kedua tangan melipat diatas kedua lututnya. Pandangannya hanya kosong menatap jalur yang baru saja dilaluinya. Kemudian terdiam. Tetap tak berkata-kata.
Wanto bukanlah tipe orang yang akan dengan mudahnya mengakui kalau dia sedang kepayahan. Kemudian dia hanya akan terus bergeming. Sepertinya terlihat lemah akan begitu buruk dan hina baginya.
Gunung Sanggabuana memang bukan termasuk golongan gunung yang tinggi, hanya 1291 mdpl. Tapi gunung ini merupakan gunung tertinggi dan satu-satunya di Karawang yang berbatasan langsung dengan Bogor, Cianjur dan Purwakarta. Gunung Sanggabuana dijuluki sebagai “makam diatas awan”, karena dipuncaknya terdapat banyak sekali makam-makam. Dalam hitungan saya ada lebih dari 20 makam. Pada hari-hari tertentu Sanggabuana akan didatangi oleh banyak peziarah dari berbagai tempat. Selain itu, Sanggabuana memiliki banyak sumber mata air. Beberapa dapat ditemui di sepanjang jalur. Beberapa lagi berada di sekitar puncaknya.
Tapi yang paling penting, Gunung ini sedikitnya telah mengajarkan Wanto untuk jangan sekali-kali meremehkan alam. Karena gunung yang sempat ia remehkan diawal pendakian ini, nyatanya mampu membuatnya kepayahan dan berpikir ulang tentang kebenaran ketinggian gunung ini.
Normalnya untuk orang-orang biasa membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk sampai puncak. Lain cerita dengan orang yang sudah terbiasa kesini. Dua orang peziarah yang saya temui, mengaku hanya butuh waktu 1,5 jam saja. Dasar gila!.
Setelah dua jam perjalanan, melewati sawah dan kebun warga yang warna hijaunya memanjakan mata, masih akan ditemui sebuah perkampungan kecil yang hanya berisi beberapa KK saja. Mereka hidup dengan bertani dan berkebun. Kampung kecil ini tepat dibawah kaki Sanggabuana, berbatasan langsung dengan hutan. Disini ada juga beberapa makam yang kelihatannya dikeramatkan. Dari sini pendakian yang sebenarnya baru dimulai.
Dan Gunung yang selalu menjadi pemandangan di desa KKN saya dulu ini, pada akhirnya saya nobatkan sebagai satu-satunya tempat sejuk yang ada di Karawang. Dipenuhi pepohonan yang tingginya mencapai puluhan meter membuat terik matahari tidak mampu lagi menyengat kulit. Udara terasa menyegarkan. Pendakian pun jadi terasa mengasyikkan.
Beberapa orang yang saya temui menyuruh kami, dengan sedikit memaksa, untuk mandi jika kami nanti sampai di sumber air atau pancuran. Sempat ke puncak atau tidak, pokoknya harus mandi. Kalau tidak di pancuran yang ini ya di pancuran yang itu. “Sayang-sayang udah jauh-jauh, capek-capek kesini kalau tidak mandi di pancuran” begitu katanya. Entah motif mereka apa, saya mengiyakan saja. Setelahnya kami hanya berlalu saja. Peduli apa dengan kepercayaan-kepercayaan mereka.
Berkali-kali saya harus menurunkan tempo langkah kaki agar Wanto yang tertinggal bisa mendekat. Berkali-kali juga saya harus berhenti dan menunggu Wanto yang sesekali hilang dari jangkauan mata. Dia terlihat sedikit kewalahan. Tapi dia tetap tidak akan menerima jika saya katakan demikian.
Ya.. sejak masih dibawah, saat mulut saya mulai mengoceh tentang apa saja yang saya lihat disepanjang jalan dan bicara ngalor-ngidul, Wanto sudah bersepakat bahwa ia tak ingin banyak bicara selama perjalanan sebelum sampai puncak. Agar tidak cepat capek dalihnya. Sempat ingin mengelak pernyataannya, tapi saya coba memaklumi saja. Setiap orang tentu memiliki cara masing-masing untuk menikmati pendakiannya. Sementara saya tetap menjadi orang yang berisik.
Saya berjalan didepan, masih sedikit banyak bicara, sesekali membuka pembicaraan, sesekali ditanggapi ringan, berkali-kali tidak ditanggapi.
Karena Wanto masih tertinggal di belakang, dan masih tetap tak banyak bicara, saya bernyanyi-nyanyi saja. Kemudian terbawa dalam lagu “Senandung Pucuk-pucuk Pinus” kepunyaan Ebiet G Ade. Entah bagaimana latar belakangnya sampai saya tiba-tiba terlintas lagu ini. Tapi saya adalah orang yang mengamini betul kata-kata si pencipta lagu ini.
“Bila kita tak segan mendaki lebih jauh lagi, kita akan segera rasakan betapa bersahabatnya alam”
“Bila kita tak segan manyatu lebih erat lagi, kita akan segera percaya betapa bersahajanya alam”
Saya memandangi pohon-pohon itu, yang tingginya mungkin mencapai puluhan meter. Entah itu jenis-jenis pohon apa saja, saya bukan orang yang ahli dalam bidang itu. Kemudian imajinasi saya mulai bermain. Tentang bagaimana jika pohon-pohon yang usianya mungkin telah ratusan tahun ini bisa berbicara dan mau berbagi cerita. Saya jadi penasaran tentang hal-hal apa saja yang mungkin akan disampaikan oleh pohon-pohon ini kepada saya. Andai itu benar-benar terjadi, saya tentu akan jadi pendengar yang baik.
Pohon-pohon itu terlihat begitu bersahabat. Mereka adalah sumber makanan dan rumah bagi berbagai macam binatang. Mereka melindungi dari panas matahari. Memberikan oksigen yang dibutuhkan. Menyimpan cadangan air selama musim penghujan dan mencegah longsor. Juga menghindari kekeringan selama kemarau. Dan saya rasa tidak ada yang dirugikan dengan keberadaan mereka. Mereka memang telah menjadi sahabat yang baik bagi mahluk hidup disana, juga termasuk manusia. Karenanya saya yakin mereka pasti akan banyak mengajarkan cara berteman dengan alam dan seluruh isinya.
Pohon-pohon itu terlihat begitu bersahaja. Di usia yang sudah banyak itu, tentu mereka telah menghadapi berbagai macam hal. Cobaan seperti angin kencang, kemarau panjang dan hujan badai tentu sudah menjadi hal-hal yang biasa mereka hadapi. Tapi mereka justru tumbuh semakin tinggi, semakin besar dan semakin kokoh. Peran mereka pun jadi semakin besar. Karenanya saya yakin mereka pasti tidak akan berkata-kata kecuali yang bijak.
Ya.. mungkin di Sanggabuana kita tidak akan menemui pohon pinus yang pucuknya bergesekan dihembus angin, seolah sedang berjalin tangan seperti dalam lirik lagu tersebut. Namun Gunung ini sedikitnya telah membuat saya berpikir ulang tentang hubungan antara manusia dengan alam. Bukannya manusia diturunkan sebagai pemimpin dibumi?. Pemimpin yang mestinya tetap menjaga keseimbangan alam yang sudah seimbang tanpa kehadirannya. Karena sejatinya alam adalah bersahabat dan bersahaja.
(Gunung Sanggabuana – Karawang, 5-6 April 2015)
cara penyampaian berbahasa lo bagus banget sih, Mad! ngefans deh :3
LikeLike
mbak nana bisa aja, nanti saya terbang loh..
LikeLike
Udah cocok banget deh jadi travel blogger! Bahasanya sopan, enak banget. Haha ini beneran loh
LikeLike
wah makasih na, doain yak supaya bisa jadi travel blogger beneran hehe..
LikeLike