Bertekuk Lutut Dihadapan Guntur

IMG_5346.JPG_effected(FILEminimizer)

Banyak saya temukan orang-orang yang beranggapan bahwa pendakian gunung sama saja seperti perjalanan hidup. Seperti lika-liku kehidupan, dalam pendakian gunung akan ditemui jalur yang terkadang datar, landai, menurun, menanjak, atau bahkan sampai yang sangat curam sekalipun. Jika memang demikian, maka hidup yang dianalogikan dengan pendakian Gunung Guntur tentu bukan hidup yang santai-santai saja.

Gunung Guntur memang begitu adanya. Gunung yang namanya tidak setenar kedua saudara dekatnya. Sebut saja Gunung Papandayan yang eksotik dengan kawah aktif dan padang edelweis terluas se-Asia Tenggaranya, atau Gunung Cikuray yang tersohor dengan Golden Sunrise dan Samudera diatas awannya.

Jika dilihat, Gunung Guntur pun tidak segagah kedua saudaranya itu, angka ketinggiannya hanya 2249 mdpl. Bandingkan saja dengan Gunung Papandayan dengan ketinggian 2665 mdpl atau Gunung Cikuray yang bergelar gunung tertinggi keempat di Jawa Barat dengan ketinggian 2821 mdpl. Tapi jika bicara soal jalur pendakian, maka Gunung Guntur bagi saya adalah jawaranya.

Mereka adalah 6 orang yang belum pernah saya kenal dan seorang kawan di kampus. Belakangan saya baru tahu jika ini adalah pendakian pertama bagi Chef. Entah siapa nama aslinya, yang saya tahu semua memanggilnya sesuai dengan profesinya di salah satu Mall kenamaan di Jakarta Selatan. Malang betul nasibnya, dipendakian pertamanya sudah harus bertamu ke Gunung Guntur.

IMG_5324.JPG_effected(FILEminimizer)

Gunung Guntur memang memaksa seluruh tamunya yang datang untuk terus menundukkan badannya. Kemiringan jalurnya memang membuat para pendaki jadi tak karuan. Belum lagi kerikil-kerikil kecil licin yang membuat kaki justru terus terpeleset saat coba melangkah maju.

Jika saya ingin kembali bermain analogi, mungkin mendaki Gunung Guntur ini mirip-mirip dengan memasuki sebuah Keraton. Ada Keraton yang pernah saya lihat di sebuah acara televisi, yang pintu masuknya dibuat sedemikian rendah supaya orang yang ingin masuk, mau tidak mau, harus membungkukkan badan. Katanya sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Raja dan para penghuni Keraton. Mungkin bedanya, kalau tamu Keraton harus membungkuk hanya pada pintu masuk saja, sedangkan Gunung Guntur memaksa tamunya membungkuk hingga ruang tamu, ruang makan, kamar tidur bahkan kamar mandi.

Mari kita anggap saja ritual bungkuk-membungkuk kita pada pendakian Gunung Guntur ini sebagai bentuk penghormatan kita kepada alam dan para penghuninya, juga bentuk tunduknya kita pada Sang Pencipta Alam.

IMG_5339.JPG_effected(FILEminimizer)

Hanya saja, Gunung Guntur hari itu sedang menjadi tuan rumah yang begitu baik. Kami dijamunya dengan cuaca cerah dan dihidangkan hamparan ilalang berwarna ungu yang sedang kasmaran. Cahaya matahari yang berjatuhan membuat ilalang-ilalang itu seperti menyala-nyala. Oleh angin, ilalang-ilalang itu dibuat pasrah saja terkoyak terus-menerus. Bergoyang-goyang dengan riang mengikuti irama angin yang berhembus.

Kemudian sesekali awan tebal lewat menepis terik matahari, sesekali juga kabut tipis tak mau ketinggalan ambil bagian. Sementara banyak terlihat terlalu kepayahan untuk sekedar memperhatikan hal-hal itu.

IMG_5321.JPG_effected(FILEminimizer)

Dan sepanjang perjalanan, saya hanya terus menunduk, mau tidak mau. Sesekali, di setiap jeda langkah kaki, menengok ke puncak yang terlihat jelas dan dekat tapi tak kunjung sampai. Sekedar memastikan dia masih disana dan tak akan kemana-mana. Sesekali menoleh kebelakang melihat kondisi kawan seperjalanan yang tertinggal. Beberapa kali harus menunggu cukup lama hingga warna-warni keril mereka bisa terlihat. Sesekali pula harus bertekuk lutut kelelahan. Langkah kaki hanya bertahan beberapa saja untuk kemudian terhenti lagi dan melangkah lagi. Terus begitu, berjam-jam. Terkutuklah jerigen air dalam keril saya yang membuat langkah semakin berat.

Perjalanan melelahkan itu terhenti di puncak 2, saat cahaya matahari mulai nyaman dipandang mata. Sore itu Kota Garut terlihat begitu tenang dari depan tenda. Gunung Galunggung pun terlihat elok dari sini. Dibelakang tenda, puncak 3 berdiri gagah, menggoda mereka-mereka yang sudah menyerah di puncak 2. Sementara kami hanya tetap disini, tak beranjak, hanya bisa memperhatikan dari jauh. Mungkin diantara kami ada yang dibenaknya terselip hasrat untuk mencapainya, hanya saja kaki-kaki yang sudah tak sanggup lagi untuk berjalan melalui jalur curam didepan mata itu. Dan pastinya saya adalah salah satu yang demikian.

IMG_0058.JPG_effected

Dan Gunung Guntur membuat saya berhutang padanya. Pada 3 puncak selanjutnya yang tak sampai. Pada puncak-puncak yang berjejeran itu. Saya berjanji padanya untuk kembali dan melunasi hutang itu. Suatu hari nanti, entah kapan, tapi pasti. Semoga.

Sementara perjalanan turun tentu merupakan hal yang paling tidak mengenakan bagi Chef. Harus terperosok sambil berguling-guling ria saat meluncur ditengah kerikil-kerikil kecil. Hasilnya, sebuah sobekan tanda perpisahan pada celananya terukir dengan rapih. Saya dan yang lainnya pun sempat terperosok, hanya saja tidak separah itu.

Perjalanan turun sejatinya lebih mengasyikan, hanya mengikuti saja ceruk-ceruk bekas jalur air yang berisi kerikil-kerikil kecil. Tak banyak membuang tenaga, tak memakan banyak waktu, hanya perlu bermain perosotan saja. Sangat mengasyikan memang, hanya dengan selangkah kaki, tubuh sudah bisa meluncur kebawah tak terkendali. Namun jika tidak hati-hati maka bersiap-siaplah menderita seperti Chef.

Saya ingat celoteh yang keluar dari mulut Chef kepada Rizal saat turun. “Sialan lu zal ngajak gue kesini!”, sedikit menggerutu. Semoga dia tidak kapok karena Guntur.

IMG_5373.JPG_effected(FILEminimizer)

Dan Gunung Guntur telah membenarkan bahwa di alam tidak ada suatu yang pasti. Ketinggian mdpl itu nyatanya hanyalah deretan angka dihadapan alam. Semakin tinggi bukan berarti semakin sulit jalur. Semakin tinggi tak menjamin semakin panjang jalur. Begitupun sebaliknya. Gunung guntur adalah buktinya.

Dan seperti menjalani suatu kehidupan, sesulit apapun rintangan yang harus dihadapi, dia tetaplah sebuah cerita yang menarik untuk diceritakan dan dikenang saat sukses kelak. Dan jika puncak-puncak harapan itu belum juga tercapai, maka kembalilah dengan tekad yang lebih tebal dan lebih tebal lagi.

(Gunung Guntur – Garut, 6-7 Juni 2015)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s