Ada Hangat Di Beku Arjuno

IMG_5637.JPG_effected(FILEminimizer)

Hari masih pagi saat si ular besi berhenti merayap di stasiun terakhir, Stasiun Malang. Setelahnya semua orang kompak berhamburan, berpencar-pencar ke segala penjuru. Mereka berpisah berdasar tujuan masing-masing, ada yang ingin pulang dan ada yang justru baru ingin memulai perjalanan pergi. Kami duduk disana, di warung tak jauh dari pintu keluar stasiun, saat kerumunan orang-orang tadi sudah tak bersisa. Kami bukan sedang menikmati suasana, hanya sedang berunding tentang bagaimana kelanjutan semua ini.

Kalau ingin jujur, pendakian ini sesungguhnya bukanlah perjalanan yang saya inginkan, tepatnya hanya pada beberapa hari menjelang keberangkatan. Ada perasaan enggan ketika banyak hal-hal yang masih mengantri untuk diselesaikan, yang kemudian membuat saya ingin menarik diri saja dari perjalanan yang sudah direncanakan sejak dua bulan kebelakang ini. Tapi pendakian ke Gunung Arjuno ini memang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja. Dan pada akhirnya sudah bisa ditebak dengan mudah, saya tetap bergabung dalam rombongan kecil ini menuju bagian timur Pulau Jawa.

Mereka bisa dikatakan sebagai empat orang yang asing. Bolang dan Vijay sempat saya kenal pada pendakian ke Gunung Guntur beberapa bulan lalu. Setelahnya tak sekalipun saya berjumpa lagi dengan mereka. Sementara Edo dan Adel adalah orang yang benar-benar baru saya kenal. Walau ini bukan pertama kalinya saya bergabung dengan orang-orang asing dalam sebuah perjalanan, tapi tetap saja saya sempat dibuat risau tentang orang-orang seperti apa yang akan menjadi kawan seperjalanan ini.

IMG_5526.JPG_effected

Bagi saya, kawan seperjalanan menjadi faktor penentu bagi kualitas sebuah perjalanan. Sering saya mendapati perjalanan yang sejatinya biasa-biasa saja bisa menjadi begitu berkesan jika disertai kawan perjalanan yang tepat. Bahkan walau di situasi terburuk pun, perjalanan tetap saja menyenangkan. Saya ingat tentang perjalanan ke Curug Cibeureum yang gagal total beberapa tahun lalu, yang rasanya usah untuk diratapi ditengah canda tawa kawan-kawan serperjalanan. Atau tentang kekecewaan saya pada Tanjung Lesung yang pada akhirnya tetap saja menjadi perjalanan yang mengasyikkan.

Apakah mereka jenis orang-orang yang menyenangkan atau tidak, saya tidak tahu. Berjalan dengan orang asing memang selalu menawarkan kejutan-kejutan. Terkadang mengasyikan, terkadang juga tidak.

Risau itu berasal dari grup bernama “Arjuno” yang seperti tak bertuan. Anggotanya hanya 5 orang yang sepertinya sedang sibuk dengan hari-harinya masing-masing. Jarang sekali ada obrolan-obrolan, entah tentang perjalanan ke Malang nanti atau hal-hal lainnya. Hanya Edo yang sering muncul tiba-tiba untuk sekedar menggoda Adel. Setelahnya grup itu kembali berdiam diri. Kami masih terlalu canggung sepertinya. Bahkan di beberapa hari menjelang keberangkatan pun, suasana grup itu masih begitu dingin. Hanya beberapa jam saja sebelum keberangkatan grup itu menjadi sedikit ramai.

IMG_5542.JPG_effected(FILEminimizer)

Diantara pohon-pohon pinus itu, seiring langkah waktu, suasana mulai mencair. Banyak cerita mulai di bagi, banyak canda mulai terlontar disepanjang jalan yang berbatu. Obrolan-obrolan mulai terbuka, dari yang serius sampai yang paling remeh. Diantara pohon-pohon pinus itu, seiring langkah waktu, rasa canggung itu mulai lepas dengan sendirinya, pergi meninggalkan kami yang mulai tak peduli.

“Arjuno sedang dingin-dinginnya”, kurang lebih seperti itulah ucapan dari seorang pendaki asal Malang yang kami temui di pos Kokopan. Mereka sudah berkali-kali mendaki Gunung Arjuno. Melihat penampilan mereka yang sedemikian rupa, cukup bagi saya untuk berkesimpulan bahwa mereka sangat berpengalaman dengan Arjuno-Welirang.

Terbukti memang, sore hari pun saya sudah harus menutup seluruh tubuh karena dinginnya yang menusuk tulang. Bahkan sepanjang malam saya hanya terus menggigil kedinginan walau seluruh badan sudah tertutup rapat-rapat. Di perjalanan, hanya Bolang yang dengan gagah berani tidak menggunakan sarung tangan dan hanya memakai celana kolor pendek. Penampilannya semakin nyentrik dengan sepatu sneakers warna putihnya. Tapi nyatanya dia tidak terlihat kedinginan atau terganggu karena itu.

IMG_5622.JPG_effected(FILEminimizer)

Bolang mulai mengungkit-ungkit cerita tentang pendakian Gunung Guntur. Tentang apa saja dan mungkin semuanya. Cerita tentang bagaimana dua ekor babi hutan berukuran super yang menyerang kedua tenda kami. Tentang hutang pada puncak-puncak Guntur. Tentang jalur terjal yang licin berbatu. Juga tentang tingkah laku aneh Rikum selama perjalanan, yang matanya tak pernah berhenti mencuri-curi pandang ke setiap pendaki-pendaki wanita, untuk kemudian berbisik “ih lucu tuh”. Atau masih tentang Rikum dengan aksi heroiknya yang gagal total ketika hendak mengusir babi hutan di depan tenda.

Dia juga banyak bercerita tentang hal-hal lain. Beberapa hal baru saya dengar, sebagian lain saya sudah paham jalan ceritanya. Sudah pernah saya mendengarnya. Seperti cerita tentang empat buah jambu air tak bertuan yang tiba-tiba ia temukan didekat sumber air di Gunung Gede setelah membersihkan sampah-sampah disekitar. Padahal, katanya disana tidak ada pohon jambu air dan tidak ada orang lain lagi. Atau masih ditempat yang sama, ketika kekesalannya memuncak karena melihat kotoran manusia di sumber air, setelah ia minum dan mencuci muka di aliran airnya.

Peduli apa dengan cerita yang diulang-ulang, berbagi cerita di sepanjang pendakian adalah kenikmatan tersendiri. Suasana Gunung memang selalu membuat seseorang ingin banyak berbagi cerita, dari hal-hal yang tidak penting sampai yang intim sekalipun. Saya mungkin masuk dalam golongan orang-orang macam ini.

Perselisihan Edo dan Bolang menjadi pertunjukkan lawak selama perjalanan. Tentu bukan perselisihan sungguhan, sebatas gurauan-gurauan saja. Orang-orang semacam ini, keberadaannya dalam perjalanan sepertinya memiliki hukum wajib untuk meramaikan suasana. Semakin lama perselisihan mereka semakin menjadi, semakin lepas juga tawa kami melihat tingkah mereka. Namun pada akhirnya semua kembali baik-baik saja. Pendakian ini telah membuat mereka menjadi seakrab itu.

IMG_5649.JPG_effected-001(FILEminimizer)

Bicara soal Gunung Arjuno, ia adalah gunung yang jalurnya tidak bisa dikatakan mudah. Jalur tretes yang kami lalui, umumnya dipakai oleh pendaki dan penambang belerang untuk menuju Gunung Welirang. Untuk menuju Arjuno, jalur menjadi memutar. Karenanya perjalanan menjadi begitu panjang, tak heran semua kepayahan. Saya salut pada Adel, si perempuan satu-satunya, yang bisa mengimbangi langkah kaki para laki-laki ini. Seingat saya, tidak pernah sekalipun saya mendengarnya mengeluh selama pendakian itu. Bahkan karena itu, saya jadi lupa kalau dalam rombongan kami ada seorang perempuan. Edo, si bapak polisi, dengan kaki yang beberapa kali terlihat di seret-seret dan tersandung pun akhirnya bisa menyelesaikan pendakian dengan bangga.

Namun bagi saya, Gunung Arjuno benar-benar memberikan ketenangan yang sebenarnya. Ia adalah gunung yang sepi dan damai.  Ini adalah jenis pendakian yang telah lama saya inginkan. Berjalan di antara pohon-pohon pinus yang menjulang, sambil mendengar nyanyian daun-daunnya yang terus bergesekan. Atau berjalan membelah lembah-lembah yang tetap sejuk walau matahari tepat di atas kepala. Lembah-lembah yang dingin anginnya membuat ingin berlama-lama. Meminum airnya yang menyegarkan. Juga memetik-metik arbei hutan yang tumbuh berserakan.

Tak banyak orang, bahkan hampir tak ada, tak perlu berbagi jalur atau berebut lapak tenda dengan pendaki lain. Hanya kami berlima. Bebas saja melakukan apapun yang dimau. Arjuno saat itu resmi menjadi milik kami saja.

Di lembah kidang, tempat favorit saya, saya dapat melompat-lompat dengan girang. Semacam ada beban yang ingin dilepaskan. Mendengar gema suara angin yang terus bergemuruh. Kemudian tertidur di rumput-rumputnya yang mulai menguning. Semacam orang yang sedang kasmaran. Saat itu, saya benar-benar ingin waktu dapat berhenti barang sebentar saja. Saya hanya masih ingin berlama-lama.

IMG_5676.JPG_effected(FILEminimizer)

Tanpa sadar, Arjuno telah membuat hubungan kami jadi sedekat itu.

Di tengah belantara Arjuno yang membeku, persahabatan itu terjalin hangat. Bahkan begitu hangat, mengalahkan dinginnya Arjuno yang menusuk tulang. Mereka seolah telah menjadi sahabat dekat yang sudah lama saya kenal.

Di tengah belantara Arjuno yang membeku, canda dan tawa itu begitu keras. Mengalahkan gema suara angin yang terus bergemuruh di lereng-lereng Arjuno. Rasa canggung itu seolah tidak pernah ada lagi.

Kalau saja rundingan di warung makan tak jauh dari pintu keluar stasiun itu memutuskan kami untuk berbelok tujuan, rasanya perjalanan tidak akan sehangat ini. Dan pada akhirnya, saya akui tidak menyesal untuk tetap ikut ambil bagian dalam rombongan.

IMG_5474.JPG_effected(FILEminimizer)

Di tengah perjalanan turun mulai tercetus rencana-rencana pada waktu berikutnya. Mulai dari perjalanan yang ringan dan santai-santai saja sampai perjalanan ke puncak-puncak gunung tertinggi. Rencana-rencana yang kami sambut dengan antusias.

Bersyukur ternyata perjalanan pulang ini bukan akhir, hanya sebuah awal dari perjalanan-perjalanan mengesankan lainnya di waktu depan. Semoga persahabatan dan perjalanan ini masih akan terus berlanjut untuk waktu yang lama.

(Gunung Arjuno – Malang & Pasuruan, 6-8 September 2015)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s