“Wah, hujan ya..”
“iya pak, tapi kecil kok”
Bapak security itu berdiri bukan pada tempat biasanya, sedikit lebih masuk ke dalam. Ia menghindari rintik-rintik air. Saya diam sebentar, memandangi jalan yang sudah sepenuhnya basah. Setelah menimbang-nimbang kadar hujan, saya beranikan diri masuk dalam runtuhan air langit itu.
Lantai yang basah itu, saya ingat, pernah memakan korban. Seorang bule ketika sedang berlari-lari karena hujan yang turun harus menanggung malu dihadapan orang-orang yang sedang berteduh. Ia tersandung untuk kemudian meluncur bebas. Barang bawaan berserakan, tubuh basah kuyup, harga diri hilang.
Saat itu jarum panjang sudah menunjuk angka sembilan. Saya bukan sedang lembur atau apa, hanya ingin menghindari padatnya lalu lintas. Saya tidak menyadari kalau diluar, Jakarta sedang diselimuti gerimis mengundang.
Begini, saat hujan rintik-rintik seperti ini, Jakarta akan terasa begitu melankolis, juga sedikit sendu. Berjalan ditengah gerimis seperti ini selalu mampu menimbulkan perasaan tersendiri.
Beberapa kali saya sempatkan diri menengok ke langit, tempat air-air ini berasal. Hanya gelap, hanya itu saja. Lampu-lampu jalanan menyala temaram. Cahayanya sedikit terbatasi garis-garis air yang jatuh. Entah mengapa saya menyukainya.
Semerbak bau jalanan yang basah karena runtuhan air itu terasa jelas di lubang hidung. Saya tarik napas panjang-panjang, berkali-kali. Aromanya nikmat. Inilah wangi yang telah lama dinantikan banyak orang setelah berbulan-bulan kemarau tak mau pergi. Gerimis malam itu mungkin jawaban dari doa jutaan orang di Jakarta.
Sepinya suasana malam itu membuat saya semakin larut. Langkah kaki saya buat perlahan dan hati-hati. Suasana seperti ini adalah barang langka. Kawasan Epicentrum menjadi begitu melankolis.
Saya putuskan tetap menggunakan jas hujan walau gerimis saat itu begitu menggemaskan. Hanya beberapa menit kemudian keputusan itu tepat. Gerimis berganti hujan lebat.
Halte, kolong fly over dan JPO disesaki para pengguna sepeda motor. Nampaknya masih banyak yang belum siap menyambut musim hujan. Sebagian pengendara lainnya tetap gagah menembus hujan. Ada yang basah sedikit, ada yang sudah kuyup.
Laju roda dua saya tahan pelan-pelan. Saya sedang tidak ingin buru-buru. Menikmati apa yang telah dinanti sejak berbulan-bulan lalu. Beberapa kali terucap syukur.
Teringat lahan-lahan persawahan dan perkebunan yang gagal panen. Teringat wilayah-wilayah yang kekeringan. Teringat hutan-hutan yang terbakar.
Turunlah…
Lebat…
Agar semua basah yang ada dimuka bumi.
(Jakarta, 2 November 2015)
Hujan memang selalu punya cara untuk menyentuh sisi romantis dan melankolis manusia dengan hati keras sekali pun. Hehe. Apalagi kalo hujannya di kota yang sudah romantis. Bandung misalnya.
LikeLiked by 1 person
setuju mas,
lebih-lebih kalau hujan yang melankolis dikota yang romantis bersama si manis 🙂
LikeLiked by 1 person