Gunung Karang, gunung yang telah saya rencanakan sejak beberapa bulan terakhir akhirnya tercapai juga. Pendakian ini adalah misi melarikan diri saya dari rutinitas yang sudah sekitar 4 bulan saya geluti. Tiga hari sebelum pendakian, dengan penuh bersusah payah kewajiban itu akhirnya saya selesaikan. Tanpa dugaan, motivasi untuk dapat segera mendaki membuat saya mau terburu-buru menyelesaikannya.
Pendakian dimulai sore hari, setelah semua sempat bermalas-malasan di salah satu rumah warga yang dituakan. Maklum, sebelumnya kita harus mengendarai motor 4 jam lamanya dari Ciputat untuk sampai di Pandeglang, itu belum dihitung dengan perjalanan menuju Desa Kadu engang yang ternyata cukup panjang dengan didominasi jalan rusak, menanjak, dan berkelok. Oh ya, saya sempat merasa kasihan ketika sedang beristirahat di sebuah stasiun pengisian bahan bakar, sesaat setelah memasuki Rangkas bitung. Semua tergeletak di lantai sebelah mushola dengan wajah tidak karuan. Semua kepayahan karena jalan yang panjang, panas dan berdebu. Lain kali saya memang harus mulai mempertimbangkan kalau tidak semua orang gemar bermotor jauh-jauh seperti saya.
Mereka adalah orang-orang yang 5 bulan lalu saya bawa ke Gunung Sanggabuana. Ada Ijul, Daus, Latif, Aufar, Udon, ditambah Aprian dan Ka Andis. Khusus untuk Ka Andis, dia yang berhasil menodong saya untuk sapat bergabung setelah mengungkit-ungkit janji saya dulu. Padahal saya kira ia sudah lupa kalau saya pernah mengajaknya mendaki.
Gunung Karang masih seperti saat saya lihat sebelum-sebelumnya. Ia masih berdiri gagah di dataran rendah tanah banten dengan puncak yang masih terus ditutupi awan. Ia juga masih tetap membuat saya penasaran. Saya ingat saat pertama kali melihatnya, 3 tahun lalu, diperjalanan menuju Tanjung Lesung. Saat itu saya baru tahu kalau di daerah Pandeglang ternyata ada gunung juga.
Pendakian masih seperti pada umumnya, ia tetap diisi oleh tawa dari lelucon-lelucon spontan. Juga oleh tingkah-tingkah konyol yang bermunculan di sepanjang jalan. Pada berbagai kesempatan beristirahat, Aprian terlalu gemar membuka selangkangannya lebar-lebar. Pamer sekali. Yang paling menggelikan ketika tangannya tidak ketinggalan bergerak menggaruk-garuk. Tapi, jalan menanjak itu berhasil membuatnya jadi sedikit pendiam. Hanya sesekali saja koar-koarnya masih terdengar. Lalu Ijul yang kembali menghadirkan imajinasi-imajinasinya. Imanjinasinya terkadang melampaui nalar orang-orang kebanyakan. Pada suatu waktu di tanah lapang dengan pemandangan terbuka ke penjuru Pandeglang, ia mulai bertingkah. Dia berimanjinasi kalau kerilnya adalah sebuah jetpack. Dengan tangan kanan keatas ala superman, ia bersuara “wwuussssss…”.
Latif sudah terlihat lebih tangguh dari pendakian sebelumnya. Kaki-kakinya lebih mantap dalam melangkah. Walau di salah satu tanjakan ia sempat runtuh juga. Sementara itu, Ka Andis terlihat tidak banyak melakukan apa-apa. Sepertinya ia sadar betul sedang berada dirombongan pria-pria yang salah.
Diluar dugaan, Gunung Karang ternyata mempunyai jalur yang menyulitkan. Jalur menanjak terus dengan tekstur yang gembur. Memasuki hutan, jalur menjadi begitu rapat. Terlebih hujan sempat turun walau sebentar. Namun, pendakian akhirnya berujung di puncak sumur tujuh menjelang tengah malam. Badan saya yang sehari sebelumnya mendadak panas ternyata masih bisa diajak berkompromi selama pendakian.
Di Gunung Karang, Aufar membuktikan diri kalau dia memang orang yang pantas untuk selalu turut dalam pendakian. Ia kerap membawa benda-benda yang tidak terpikirkan orang-orang umum. Namun siapa sangka ternyata berguna. Kali ini ia membawa sepasang stik drum dan selotip ukuran besar. Mulanya ia berniat memasang stik drum di bagian belakang motor saya sebagai pijakan tas. Tapi karena perkiraannya tidak sesuai, jadilah benda-benda itu tidak bermanfaat. Sempat dijadikan bahan candaan, ternyata benda-benda itu menjadi penolong saat tanpa disangka salah satu frame tenda patah. “ada gunanya juga kan gw bawa beginian” ujarnya sedikit sombong.
Pagi hari sedang tidak terlalu istimewa. Ia hanya diisi oleh kekhawatiran pada stok air yang sudah menipis. Sumur tujuh yang merupakan sumber air ternyata sedang kering, air yang ada hanya berwarna kekuningan dan penuh jentik nyamuk. Pagi juga berisi keluhan Ijul, Latif, dan Aufar yang kulitnya melepuh setelah semalam berdarah-darah digigit serangga. Belakangan diketahui kalau serangga itu sejenis tomcat. Di sisi lain, aprian sudah kembali banyak bicara seperti pada normalnya. Ijul juga mulai kembali dengan tingkah-tingkah konyolnya.
Namun memang begitu adanya. Dari sudut manapun, pendakian memang selalu bisa dinikmati. Bagaimanapun kondisinya, ia selalu berhasil mendekatkan.
Sementara, perjalanan turun berlangsung lancar-lancar saja. Hanya Aprian yang mulai bertingkah kurang ajar. Pantatnya terus-terusan menyemburkan bau busuk yang kemudian disambut tawa kelakarnya. Terlihat puas sekali. Oh ya seingat saya, beberapa kali ia masih sempat memamerkan selangkangannya. Selain itu, masing-masing kami juga terus bergantian terperosok di jalur menurun yang licin. Saya ingat, saat hampir sampai di sumber air, ditengah langkahnya yang dipercepat pada jalur menurun, ketika suara air sudah terdengar, Ka Andis terperosok dengan raut wajah yang tidak enak. Sepertinya ia sudah tidak kuasa lagi menahan haus. Dibelakang, Aprian yang seharusnya menolong malah tidak mau ketinggalan ambil bagian.
Gunung Karang sedang seperti biasanya, ia tetap berawan. Pos 2 yang rencananya akan dijadikan tempat berfoto ria, ternyata hanya memberikan kabut putih tebal. Di sela kentut Aprian yang masih berbau busuk, kami mendekat ke Desa Kadu engang. Meninggalkan kabut yang terlihat masih bertahan.
Menjelang gelap kami meninggalkan Desa Kadu engang. Roda-roda motor berputar membawa wajah-wajah kepayahan. Seperti belum siap untuk perjalanan 4 jam kedepan. Malang sekali.
(Gunung Karang – Pandeglang, 9-10 april 2016)