Menengok Cibatutiga, mengenang Cita-Cita

P_20160528_163428_HDR.jpg_effected(FILEminimizer)

Debu-debu jalan berhamburan dihempas roda-roda kendaraan yang berlalu-lalang. Kontur jalan bergelombang, lubang-lubang jalan menganga dimana-mana. Truk-truk besar merajai jalan sambil memanggul muatannya. Dengus mesinnya bersahut-sahutan. Sementara kendaraan-kendaraan kecil hanya mencuri-curi celah diantara gerombolan truk. Semua memacu kecepatan tinggi, tidak sabar untuk menyalip truk-truk besar yang jalannya lambat dan meninggalkan asap hitam pekat. Jalan Cileungsi-Cariu belum juga berubah, masih memacu adrenalin bagi penggunanya.

Saya pergi hanya seorang diri. Banyak alasannya, tapi saya sedang tidak ingin mempermasalahkannya.

P_20160528_132610_1.jpg_effected(FILEminimizer)

Hal yang pertama kali saya lakukan setiba di Kecamatan Cariu adalah memesan seporsi seblak dan es jelly. Dua tahun lalu, ini adalah duet menu makanan favorit saya di siang hari. Saya pesan yang pedas, seperti yang dulu. Sambil menunggu seblak matang, saya menelpon kang Agus, salah satu ketua RT di Dusun Cisero, salah satu dusun dari 6 Dusun yang ada di Desa Cibatutiga. Sebelumnya Kang Agus pernah berpesan agar saya menghubunginya terlebih dahulu jika ingin berkunjung. Akan disiapkan makanan-makanan katanya. Tapi kali ini saya sedang tidak ingin membuat Kang Agus menjadi repot karena kedatangan saya yang mendadak ini.

“Haloo.. kang Agus?”

“Iya? Ada apa ya?”

“Ini saya ahmad kang, masih inget ga? hehe”

“Hmmm… Ahmad mana ya?”

 “yang dulu KKN kang”

“Oh iya pak”

“Kang Agus ada dirumah ga? Ini saya lagi di pasar Cariu, lagi istirahat”

“Iya saya lagi dirumah pak”

“Nanti saya kerumah ya kang, ga kemana-mana kan?”

“Iya kesini aja”

“Oke kang tunggu ya.. setengah jam lagi saya kesitu”

“iya..”

Dari perbincangan saya tahu kalau Kang Agus tentu sudah lupa dengan saya. Hampir dua tahun saya tidak pernah berjumpa lagi dengan ketua RT nyentrik ini. Dia adalah salah satu orang yang jasanya sangat besar dalam membantu kelompok saya selama KKN dulu. Saya rasa teman-teman yang lain juga setuju kalau saya bilang Kang Agus adalah sosok yang paling mudah diingat.

KKN CITA-CITA adalah nama kelompok saya dulu. Rumusan dari Hani yang merupakan singkatan dari Ciptakan Integritas, Tanamkan Akhlak untuk CibatuTiga. Nama yang bagi saya sangat bergaya, tapi begitu muluk. Tapi karena tidak ada lagi yang mau repot-repot berpikir memunculkan nama alternatif lain, akhirnya nama itulah yang dipakai.

Dirumah Kang Agus, secara kebetulan saya juga menemui Kang Aman. Kang Aman adalah pemilik rumah yang dulu kelompok kami sewa sebagai homestay. Saya datang, Kang Aman sedikit heran.

“Gimana Kang? Sehat?”

“Alhamdulillah..”

“masih inget ga Kang?”

“iya, ini yang dulu kan”

Kang Aman tidak sepenuhnya ingat sampai Kang Agus menunjuk pada foto-foto yang terpampang di tembok depan rumahnya. Beberapa foto kenang-kenangan yang pernah kami berikan dulu ternyata dipajangnya disana. Kondisinya memang sudah tidak bagus lagi, tapi itulah cara Kang Agus mengenang kami. Saya terharu.

P_20160528_152242.jpg_effected(FILEminimizer)

Banyak hal-hal yang mengingatkan saya dengan Kang Agus. Dia adalah orang yang sering datang di malam hari untuk mengajak kami mengobrol, tertawa-tawa. Berkeliling kampung adalah rutinitasnya setiap malam, memantau situasi wilayahnya. Transit di homestay kami menjadi rutinitas barunya sejak keberadaan kami disana. Dia akan datang dengan sepada motor Legenda tua yang knalpotnya dibobok. Suara gaduhnya akan terdengar walau dari jarak puluhan meter. Jadi, kalau heningnya malam Cibatutiga tiba-tiba pecah oleh suara gaduh knalpot bobokan, kami sudah tahu harus menyiapkan secangkir kopi dan rokok. Tak jarang juga Kang Agus hanya lewat sambil menengok dari kejauhan. Suatu waktu dia bilang kalau tidak ingin mengganggu istirahat kami, hanya memantau saja dari jauh. Begitulah Kang Agus, bisa dikatakan sebagai sosok jenaka. Obrolan dengannya selalu bisa berujung dengan tawa. haha..

Masih banyak hal-hal lainnya dari Kang Agus yang segar diingat. Salah satunya, kesanggupannya membuatkan kami 10 buah rak bambu untuk tempat Al-Qur’an dan Juz amma dengan harga murah untuk didistribusikan ke masjid dan mushola di penjuru desa. Kang Agus memang seorang pengrajin bambu, iya membuat kerajinan sesuai pesanan yang datang. Kang Agus juga seorang pegiat kesenian musik Karinding. Kang Agus sering diminta untuk mengisi berbagai macam acara dengan kesenian Karinding.

Dan pada hari terakhir kami di Cibatutiga, baru terungkap kalau Kang Agus lah orang yang membuat kami bisa mendapatkan rumah untuk homestay, rumah Kang Aman. Sebelumnya nasib kami tidak jelas karena kesulitan mencari rumah warga yang bersedia untuk kami sewa selama sebulan. Jasamu banyak sekali Kang, nuhun. haha..

Cukup banyak yang kami bicarakan sore itu. Masih tentang sisa-sisa cerita dari masa lalu, juga tentang kondisi paling terkini. Sekarang, malam di Cibatutiga sudah sedikit lebih ramai katanya. Sejak sebuah pabrik printer di Cikarang membuat sebuah gudang disini. Juga karena beberapa orang yang membuka usaha baru di tepian jalan.

Hari semakin sore, saya pamit ke Kang Agus dan Kang Aman untuk berkeliling Desa sebentar. Sekedar mengais kenangan masa lalu.

P_20160528_163241.jpg_effected(FILEminimizer)

Wajah Desa Cibatutiga nyaris tidak berubah, masih seperti dulu. Hanya saja kali ini sawah-sawah sedang menghijau, air di sungai Cibeet sedang banyak.

Saya berbelok menuju jembatan gantung yang melewati sungai Cibeet. Sungai yang membelah Desa Cibatutiga menjadi dua. Memisahkan dusun Cisero, Cibojong, dan Bantar Kuning dengan dusun Nyoman 1, Nyoman 2, dan Gadung. Ya, hanya jembatan ini satu-satunya akses jalan yang bisa digunakan untuk menuju dua lokasi itu. Kalau menggunakan mobil, terpaksa harus memutar sampai ke Kecamatan Cariu. Tentu sangat membuang-buang waktu.

Saya urungkan niat untuk mengunjungi Kang Elon, karena ternyata jalan kecil melewati hutan bambu menuju sebuah RT yang terpojok itu sedang diperbaiki. Jalan tanah yang menjadi saksi bagi saya, Kunto dan Jek yang dulu terus berseliweran disana.

DSC00773.JPG_effected(FILEminimizer)

Kang Elon adalah salah seorang yang punya andil sangat besar bagi salah satu program kami, renovasi mushola. Kebetulan saat itu saya, Jek dan Kunto yang menjadi penanggung jawab program. Kang Elon adalah ketua RW, dan mushola yang berada di lingkungannya memang yang kondisinya paling memprihatinkan. Dengan dana seadanya, hasil sisa-sisa program sebelumnya, Kang Elon mampu mengajak warga sekitar untuk bergotong-royong merenovasi mushola.

Pekerjaan dilakukan pada hari libur dari pagi hingga sore. Bahkan ketika masa KKN kami sudah di hari-hari terakhir, mereka rela bekerja hingga larut malam demi mengejar selesainya renovasi sebelum kepulangan kami.Walau pada akhirnya renovasi belum selesai pada hari terakhir kami disana, kami benar-benar kagum pada semangat mereka.

IMG_3285.JPG_effected(FILEminimizer)

Kemudian pada sore terakhir disana, saat-saat berpamitan menjadi penuh haru. Kang Elon sempat meminta maaf karena proses renovasi belum rampung. Tapi sesungguhnya kamilah yang harus meminta maaf karena tidak bisa banyak membantu mereka. Saat hari sudah gelap, bersama haru yang menggumpal, kami pergi menerobos jalan tanpa lampu melewati hutan bambu. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari mereka disana. Di suatu tempat yang terpojok di Desa Cibatutiga

Kemudian saya mengarahkan sepeda motor menuju Desa sebelah. Menuju sebuah curug yang pernah menjadi tempat pelarian kami dulu. Curug Ciomas adalah tempat dimana kami pernah mencuri waktu liburan walau hanya beberapa jam saja.  Libur kecil yang sangat menyenangkan.

P_20160528_171050.jpg_effected(FILEminimizer)

Curug Ciomas sejatinya adalah sebuah sistem irigasi buatan. Ia membawa air dari Gunung Sanggabuana menuju sawah-sawah disekitarnya. Curug ini kemudian sekarang terkenal dengan sebutan “Green Canyon” Karawang. Ya.. Curug ini memang berada di perbatasan antara Kabupaten Bogor dengan Karawang.

Curug Ciomas kala itu jadi tempat luapan kegirangan kami yang sudah hampir sebulan mengalami kekeringan air di Desa Cibatutiga. Tingkah kami tak kalah kekanak-kanakan dibanding segerombolan anak-anak kecil yang juga turut bermain bersama kami.

DSC01898.JPG_effected(FILEminimizer)

Perjalanan singkat saya kali ini cukup menjadi pengobat rindu. Saat hari mulai gelap saya kembali ke rumah Kang Agus bersama hujan yang tiba-tiba deras. “wah kalau hujan gini mah ga boleh pulang sama saya ini mah, udah nginep aja..”  Lagi-lagi Kang Agus merayu saya untuk bermalam dirumahnya saja. Namun keinginan saya sudah bulat untuk pulang saja. Nanti saya akan kembali lagi untuk menginap dan berkeliling Desa seperti dulu.

Beberapa jam saja ternyata tidak cukup bagi saya untuk mengenang masa lalu. Masa dimana kantung mata menjadi begitu bergelambir. Masa dimana panasnya matahari bukan lagi menjadi soal. Masa dimana lelah sudah menjadi teman akrab. Masa dimana canda tawa adalah makanan sehari-hari.

DSC02310.JPG_effected(FILEminimizer)

Ada kerinduan untuk mengulanginya lagi. Mengejar matahari terbit selepas solat subuh. Mengantri mandi di MCK umum. Mencuci baju diatas batu pinggiran sungai. Menikmati malam di Kecamatan Cariu dibawah lampu jalan sambil menengguk jus kasmaran. Menyantap pedasnya seblak di siang yang panas. Menyeruput kopi dengan canda-tawa. Menelusuri tiap sudut Desa Cibatutiga dengan semua jalan rusaknya sambil bernyanyi-nyanyi. Mendengar lagu-lagu Ebiet G Ade sebelum tidur. Dan masih banyak hal-hal yang lainnya.

Karenanya, sampai saat ini saya belum bisa menulis tentang Cibatutiga dan Cita-Cita dengan sepenuhnya. Terlalu banyak cerita yang tertinggal disana. Pun saya tidak tahu harus menulis apa. Saya tidak tahu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan setiap emosi yang lahir disana.

Biar saja ia tetap mengendap dalam ingatan, perlahan-lahan ia akan menguap bersama waktu. Semoga saja tidak.

Dan bagi saya Cibatutiga lebih dari sekedar desa. Ia adalah cerita yang sulit terungkap.

Thank you! Cibatutiga.

(Cibatutiga – Bogor, 28 Mei 2016)

4 thoughts on “Menengok Cibatutiga, mengenang Cita-Cita

Leave a comment