Gegap Gempita Cikuray

IMG_3899.JPG_effected

Berawal dari sebuah obrolan hangat di 7-11 gaplek bersama empat orang sahabat akrab. Setelah hilangnya saya dari peredaran selama sebulan akibat kewajiban KKN dipelosok bogor. Ternyata ada rasa rindu juga untuk berbagi tawa dan berbincang tentang hal yang tidak jauh dari sisa-sisa ingatan masa lalu. Atau sekedar untuk kembali bermain bulu tangkis seperti biasanya. Obrolan yang kemudian membawa saya ke salah satu titik di kota Garut, titik tertinggi dikota Garut. Diatas sebuah shelter, dipuncak Cikuray. Di ketinggian 2821 mdpl.

Nyaris tak ada yang berubah. Marno masih dengan gelak tawanya yang lepas disertai percikan air dari mulutnya. Fajar masih juga gemar mengungkit konyolnya gaya berpacaran Wanto dahulu. Tak banyak yang bisa dilakukan Wanto jika kita sudah mulai menertawakan masa lalunya selain ikut tertawa dengan terpaksa. Sementara reza masih dengan gayanya yang tenang dan lebih banyak mendengar saja. Gayanya yang tenang ini membuat anda harus menghindari melakukan netting jika bermain bulu tangkis melawannya, karena dia akan sangat menikmati bermain dengan tempo lambat semacam itu. Reza-lah orang yang membuat saya bergabung dengan 22 sahabatnya dari Universitas Gunadarma. Sebuah ajakan yang saya tanggapi dengan antusiasme tinggi.

Hanya saja, saya memang terlalu boros energi pada pendakian itu. Apalagi kalau bukan karena rasa gembira yang berlebihan. Dan disana saya hanya tidak bisa terlalu lama meringkup dalam tenda atau sekedar duduk manis saja. Suasana gunung memang selalu mampu memberikan saya energi yang lebih untuk berbuat lebih. Dalam waktu satu hari, terhitung tiga kali saya naik ke puncak dari pos 6.

IMG_3969_edited

Berada di rombongan depan yang jalan terlebih dulu mengharuskan saya untuk melangkah cepat. Tujuannya sampai pos 6 secepat mungkin dan membangun tenda. Dalam waktu 5 jam, dengan istirahat yang minim, pos 6 berhasil dicapai. Tanpa kelelahan yang berarti. Masih banyak energi yang bisa dihabiskan. Lain cerita dengan rombongan belakang yang butuh waktu hampir 12 jam untuk sampai pos 6. Rentang waktu yang cukup bagi saya untuk membangun tenda, masak, makan, tidur-tiduran dan bolak-balik ke puncak.

3 kali kepuncak tidak cukup membuat saya duduk tenang. Saya masih terlalu sibuk naik turun shelter. Mengabadikan gambar atau sekedar menikmati pemandangan. Saat yang lain memasak dan sisanya duduk istirahat, saya hanya masih belum bisa beranjak dari shelter itu. Sekali lagi, saya hanya terlalu gembira. Puncak Cikuray siang itu seperti menjadi milik kami, tidak ada pendaki lain kecuali 2 orang pribumi dengan seorang tamunya yang sedang membakar sisa-sisa sampah pendaki. Tidak ada lagi deretan tenda-tenda yang menyerupai pemukiman padat penduduk seperti tadi pagi atau kemarin sore. Jalur bayongbong lebih lama dan lebih sulit, jelas salah seorang dari mereka. tapi entah kenapa rombongan kami tetap bersikukuh lewat jalur itu. sebuah pilihan yang ternyata membawa saya pada penderitaan. Penderitaan yang mengasyikan.

IMG_20141019_144652.jpg_effected

IMG_20141019_140816.jpg_effected-001

Terbukti kegiatan buang-buang energi yang saya lakukan adalah keliru. Setengah perjalanan turun, kaki saya mulai menunjukkan batas kemampuannya. Saya yang sejak awal pendakian selalu berada di baris terdepan mulai mengurangi kecepatan langkah kaki. Membiarkan rombongan belakang mendekat. Saya tidak sendirian ternyata, belasan orang di barisan belakang juga kepayahan. Permintaan untuk istirahat terdengar semakin sering dan nyaring. Tapi karena jalur bayongbong yang sempit dan tanpa bonus memaksa kami untuk menahan sakit di kaki lebih lama demi sekedar mendapatkan tempat yang landai dan cukup luas.

Dan cikuray, sepertinya tak ingin melihat kami terlalu larut dalam keluh kesah. Diperbatasan hutan dan perkebunan warga, saat semua rombongan sedang terduduk lemas diatas tanah yang gembur, ia memberikan kami hadiah. Hadiah atas kesabaran kami meniti jalurnya yang sempit, licin dan curam. Awan gelap yang senantiasa menjadi teman sepanjang perjalanan kami, perlahan disingkirkannya. Dan siapa yang tahan melihat jutaan bintang berkelap-kelip diatas kepala?. Lampu-lampu kota garut dari kejauhan pun menunjukkan pesonanya, seakan tak rela bila pandangan dan perhatian kami hanya tertuju pada langit saja. Sebuah kombinasi landscape yang entah kata-kata apa yang mampu menggambarkannya. 2 buah bintang jatuh tertangkap mata saya dalam waktu singkat, begitu juga gery. Kami berdua berteriak-teriak girang dibuatnya. Sementara yang lainnya hanya kebingungan bagaimana bisa kami melihatnya. Sebuah hadiah indah dari cikuray.

IMG_4013(FILEminimizer).JPG_effected

Sisa perjalanan tak banyak yang terjadi kecuali perkebunan yang ternyata terlalu luas untuk dilewati dengan berjalan kaki, salah jalan, dan emosi yang mulai memanas. Tak banyak juga yang saya lakukan selain meringis kepayahan dan jempol kaki yang mati rasa. Kaki rasanya sudah tak mau berkompromi walau perkampungan warga tak juga ditemui. Saat itu rasanya merangkak benar-benar bisa jadi pilihan untuk sekedar bisa bergerak maju. Barisan depan saya tinggalkan demi menyesuaikan langkah kaki yang kini makin gontai. Berbagai macam gaya berjalan saya lakukan mulai dari jalan menyamping kanan, menyamping kiri, jalan mundur, sampai telanjang kaki dengan sepatu menggantung di keril. Sekedar untuk mengurangi rasa pegal di kaki. Tapi semua tanpa hasil, nihil!.

Dan seperti itulah cikuray, gunung yang sejak awal pendakian sangat pelit, ternyata mau berbaik hati sebelum kami benar-benar angkat kaki. Sebuah pendakian yang saya sambut dengan gegap gempita. Bahkan saya terlalu gegap gempita dibuatnya.

(Gunung Cikuray – Garut, 18-20 Oktober 2014)

Leave a comment