Dan Ciletuh bukan hanya cerita tentang keindahan alamnya. Keramahan warganya adalah hal yang lainnya. Hal yang sulit ditemui di kota besar, nyatanya tak jarang disini. Tapi memang begitulah kiranya, ketika pertanyaan dimana tempat wudhu dari saya justru dijawab dengan tawaran untuk menginap.
Selepas menumpang solat magrib diwarung, kami putuskan untuk menerima tawaran menginap tadi sore. Tawaran seorang ibu dari rumah yang letaknya tepat disebelah mushola tempat kami melaksanakan solat ashar. Sempat ingin mengabaikan saja tawaran itu dan tidur di pantai atau menumpang di warung, tapi suasana pantai yang sangat gelap menyiutkan nyali saya. Rasanya saya belum terlalu berani untuk tidur ditempat asing dengan kendaraan kami satu-satunya itu tergeletak ditempat terbuka tanpa pengamanan. Saya hanya terlalu khawatir akan kemungkinan terburuk yang akan terjadi akibatnya.
Dirumah yang sangat sederhana itu, senyum hangat menyambut kami dari sebuah keluarga yang juga sederhana. Seakan mereka sudah menunggu kedatangan kami sejak tadi. Sesungguhnya, tak banyak yang kami harapkan dari mereka, hanya sekedar menumpang tempat untuk berlindung dari udara malam dan tempat yang sekiranya aman untuk menyimpan “Baron”. Bahkan tidur dimushola atau diluar pun bagi kami tak apa. Tapi apa yang mereka lakukan layaknya sedang kedatangan tamu keluarga dari jauh. Mendadak sibuk mereka karena kehadiran kami.
Alasan kami sudah makan tak didengar, si Ibu tetap memasakkan makanan untuk kami. Telur ceplok, ikan asin, tahu dan tempe lengkap dengan lalapan tersaji dengan cepat. Kopi dan makanan ringan yang ada pun tak ketinggalan dihidangkannya. Tak enak kami berdua dibuatnya. Ini sudah melebihi harapan kami.
Saat itu, mereka juga sedang kedatangan tamu dari lampung, menantu mereka. Seorang pria yang juga tidak tahu apa-apa ketika saya menanyakan lokasi pantai kemarin sore. Ini kali pertama dia datang ke Ciletuh, kampung halaman istrinya. Namun malam itu dia tidak tidur dirumah si Bapak, entah dimana. Dirumah si Bapak hanya terlihat istrinya yang terus menggendong bayi kecil yang sesekali menangis.
Tanpa televisi dan alat elektronik berarti lainnya, kami melewati malam dengan perbincangan yang panjang. Dua anak lelaki mereka yang masih kecil pun hanya mengintip dengan penasaran dari kamarnya sambil beberapa kali mondar-mandir. Tak ada gadget digenggamannya. Mungkin beginilah kiranya mereka menikmati waktu malam. Berkumpul di ruang tengah. Menghabiskan waktu bersama. Berbincang tentang apapun.
Wanto lebih banyak diam ketika saya mencoba untuk terus menghidupkan pembicaraan. Si Bapak banyak bercerita tentang dirinya. Dia pernah tinggal di Jakarta. Sering mendapat panggilan keluar kota untuk mengobati orang sakit. Si Bapak dikenal sebagai orang yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit yang tidak bisa dijelaskan oleh medis, atau masyarakat kita biasa menyebutnya sebagai orang pintar. Melihat hal-hal yang ghoib pun salah satu keahliannya. Namanya sudah tersohor, tak heran jam terbangnya cukup tinggi. Dia berjanji akan mengajarkan saya ilmu yang dimilikinya jika saya sudah menyelesaikan kuliah nanti. Saya hanya mengiyakan, sekedar menghormati niat baiknya.
Obrolan semakin berlarut sampai titik dimana gigi saya yang mendadak sakit. Sakit yang sudah bermula saat sore di pantai palangpang semakin bergejolak. Si Bapak malah tertawa. Dibuatkannya sebuah ramuan dari air yang dicampur bawang merah dikamar. Dari ruang tengah terlihat mulutnya seperti sedang komat-kamit pada segelas air berisi bawang merah, Saya tak mau ambil pusing apa yang dilakukannya, selama itu bisa menyembuhkan sakit gigi ini. Dan ternyata rasa nyeri di gigi saya terasa berkurang setelah berkumur-kumur dengan air ramuan si Bapak. Mujarab juga ternyata.
Sebelum tidur, kami menyempatkan diri keluar rumah, sekedar melihat situasi malam disekitar. Tenang, sunyi dan hening, hanya obrolan jangkrik yang mendominasi. Tak terlihat aktivitas berarti. Rumah-rumah yang jaraknya renggang itu pintunya sudah tertutup. Dari jauh terlihat dua orang sedang berbincang dibangku teras rumahnya dengan asap rokok menggumpal. Maju sedikit ke jalanan yang gelap tanpa lampu. Hanya saja saat itu langit sedang cerah. Jutaan bintang berkedip genit, hal yang selalu saya tunggu. Saya dibuatnya tak mau terlalu cepat beranjak. Terlintas, apa yang dilakukan oleh keluarga yang baru saya kenal ini membuat saya rindu rumah. Sebuah hal yang langka.
Momen berpamitan sok harinya pun menjadi hal yang berat. Membayangkan bagaimana nasib kami jika tidak bertemu mereka kemarin. Sayangnya si Bapak sedang ke sawah ketika kami berpamitan, hanya ada si Ibu dan anak-anaknya. Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan. Si Ibu menolak ketika saya menggenggamkan sejumlah uang pada tangannya sebagai tanda terima kasih. Benar-benar tulus kebaikan mereka. Saya harus memaksa agar si Ibu mau menerima pemberian dari kami. Pemberian yang rasanya tentu tidak sebanding dengan apa yang mereka berikan pada kami. Bukan soal penginapan semata, tapi tentang pelajaran hidup yang berharga.
Bagaimana walaupun terlihat hidup dalam kesederhanaan, tak sekalipun saya mendengar dari mulut mereka kalimat keluhan. Bagaimana walaupun terlihat hidup dalam kesederhanaan, berbuat baik bukanlah yang yang ditabukan oleh mereka. Bagaimana walaupun baru berjumpa, kami sudah dianggap sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Sebuah keluarga yang hangat. Dan selanjutnya mereka akan saya kenang sebagai keluarga dari jauh.
(Ciletuh – Sukabumi, 1 Agustus 2014)